Terjerumus
dalam Keharusan
(Sedikit
Tulisan Buat Sang Pena Baru)
5 Februari
2012
Bismillahirrohmanirrohim…
“Ketahuilah para pembaca sekalian, bahwa aku dan Allah
sangat mencintaimu !
Semoga cinta-ku dan cinta-Nya kau teruskan pada generasi
berikutnya !”
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu !!
Manusia
hanya dengan tubuh (jasad) belum dapat dikatakan bahwa ia hidup. Sejatinya
hidup adalah terdapatnya ruh1)
dalam jasad2) yang membuat jasad menjadi hidup kemudian dua unsur tersebut
berpadu melakukan sesuatu yang bernilai. Begitulah kiranya inti sari paham
antropologis yang saya dapat di kelas X (kelas satu SMA) tahun 2005 yang sekitar
tujuah tahun telah berlalu, (Insya Allah
betul, klo salah koreksi akank sup ! J).
Minggu 17 Desember
2011 saya berinisiatif untuk mencoba masuk (mengikuti recruitment) dan mengikuti training
di salah satu organisasi penulisan di kampus tempat saya menuntut ilmu. Harapan
saya saat itu sangat sederhana, ingin menambah pengetahuan dalam hal “coret-coret”
atau mungkin bahasa keren-nya
sistematika penulisan sastra. “Menjerumuskan” diri dalam organisasi ini adalah
sebuah peluang emas yang tidak boleh disia-siakan pikirku saat itu, tapi hanya
sekedar “coba-coba”. Tujuan organisasi ini pun sangat visioner, membina/mengekspresikan
minat mahasiswa yang menyukai aktivitas membaca dan menulis. Saya kira hal itu
cukup matching dengan keadaan saya
yang gemar menulis namun sangat terbatas dalam hal bakat.
Hari demi
hari setelah training saya ikuti
harapan besar masih selalu menggejolak dalam benak dan pikiran. Meski dengan
usia akademik yang lumayan cukup namun bagi saya tiada kata terlambat dalam
belajar, lagian saya sampai sekarang masih menganut paham long life education atau dalam bahasa kita konsep belajar sepanjang
hayat. Artinya, tiada batas untuk belajar dalam hidup saya secara pribadi. Kekasihku
pun mengajarkan itu, Nur bagi alam
semesta.
Beberapa
kali melakukan kajian, atau lebih tepatnya “pertemuan dan bincang-bincang” dengan
pengurus (“pendamping” istilah di organisasi itu) yang di dalamnya membahas
mengenai bagaimana cara menulis yang baik. Meski menurut saya kurang constructive namun tetap saja saya
adalah orang yang menghargai sistem senioritas yang harus aturan main, karena
yang benar tidak selalu dari pikiran subjektif. Meski memberi manfaat namun
saya sangat gelisah dengan metode yang digunakan dalam setiap pertemuan, tidak
sistematis dan kurang procedural formal menurut
saya (sok tau ekh, pantoanisme..!J). Meski menyadari hal itu namun sebagai anggota baru saya
tidak terlalu ingin ikut campur dalam hal teknis seperti itu, lagian tujuan saya ikut organisasi ini
hanya sekedar menambah wawasan, “coba-coba” istilahku; pusing amat !
Hingga pada
suatu hari di akhir pertemuan dengan pengurus, ternyata pengurus memiliki misi
untuk lebih melebarkan sayap organisasi dan hal itu disampaikan kepada kami
anggota baru. Salah satu caranya adalah memperlihatkan eksistensi organisasi
kepada segenap stakeholder termasuk
kepada pimpinan lembaga kampus.
Tidak tahu
kenapa saya merasa bertanggung jawab dengan misi itu dengan mencampakkan
pikiran sebelumnya (apathies terhadap
urusan organisasi). Meski secara diam-diam, saya menggelisahkan diri memikirkan
masalah ini. Hasil dari kegelisahan itu cukup memuaskan dengan melahirkan
sedikit pemikiran yang mungkin akan menuai sedikit kontroversi dan tantangan
karena ada perubahan konsep dan paradigma yang coba saya tawarkan.
Pada awal
tulisan ini saya mengatakan bahwa manusia tidak hidup hanya dengan modal jasad
tanpa ruh, begitupun sebaliknya ruh tanpa jasad hanya akan menciptakan
keresahan (rupa gentayangan dank !) yang
sedikit-banyaknya akan melahirkan ketidak-puasan. Tidak jauh berbeda dengan kehidupan manusia, organisasi juga harus
memiliki kedua unsur tersebut untuk hidup1), tumbuh2) dan
berkembang3). Hidup dengan aktivitas dan program-program organisasi yang
jelas, tumbuh bersama kader/anggota menyelami waktu yang berarus (masalah) yang
tentunya dengan level yang dinamis, dan berkembang secara kualitatif dan
kuantitaif, termasuk dalam kemampuan kader menciptakan karya yang sesuai dengan
disiplin/divisi masing-masing dan bertambahnya jumlah kader tiap periodenya.
Begitulah
secara umum organisasi ini akan menjadi besar bersama komitmen dan konsistensi
para pengurus dan anggotanya yang berkemauan besar. Namun selain pandangan umum
seperti yang saya uraikan di atas, saya akan sedikit menawarkan pemikiran
teknis yang saya rasa perlu dipahami
bersama.
Organisasi
terbentuk dari dua kekuatan besar yang harus saling mendukung hingga tujuan
organisasi dapat dicapai secara bersama-sama dan tentunya dengan kerja sama
pula. Dua kekuatan itu adalah 1)struktur sebagai kendali dan kontrol organisasi; dan 2)kultur
sebagai motor dan pelaksana program organisasi.
Struktur
sebagai pemimpin dan manajer organisasi harus mampu menyusun dan mengagendakan
serangkaian program kerja yang akan memberikan output sebagai kinerja organisasi di mana output itu dapat dijadikan sebagai salah satu barometric eksistensi organisasi.
Selain
struktur, hal lain yang juga harus mendapat perhatian adalah bagaimana
paradigma organisasi yang menyatukan perspektif anggota/kader organisasi. Paradigma
ini penting guna menggambarkan ideologi dan tujuan dari organisasi yang sedang
dijalankan sehingga pengurus juga dengan mudah menyusun program kerja yang
berdasarkan paradigma, ideologi dan tujuan umum organisasi. Dengan adanya
paradigma yang jelas, tentunya pengurus tidak akan melakukan kesalahan
berulang, misalnya adanya program kerja yang tidak sesuai dengan tujuan dan
paradigma organisasi.
Banyak yang
berpendapat bahwa untuk lebih melebarkan sayap organisasi salah satu langkah
adalah dengan memperlihatkan eksistensi organisasi kepada stakeholder yang ada ada di lingkungan organisasi sehingga “kekaguman”
akan muncul dari berbagai pihak termasuk lembaga kampus. Hal itu tidaklah salah
karena salah satu barometer dari
aktif-tidaknya suatu organisasi dapat dilihat dari sejauh mana tingkat
eksistensi dan daya simpatik dari stakeholder-nya.
Namun apabila kita menggunakan paradigma (baca: pemahaman) itu maka yang akan
timbul menurut saya adalah sifat riya’ dalam
organisasi yang akan menciptakan rasa “letih” pengurus dan anggotanya karena
harus melakukan hal-hal yang belum tentu sesuai dengan kemampuan (baca: ikhlas)
mereka. Tentu saja dengan adanya pemahaman seperti itu bukan hanya motivasi
ekstern yang timbul namun sikap bekerja karena penilaian dari pihak lain juga akan
tumbuh bersama motivasi itu, dan yang lebih parah jika motivasi itu timbul
berlandaskan sifat riya’ tadi. Penulis
berpikir bahwa tanpa “mati-matian” berusaha memperlihatkan eksistensi pun
organisasi ini akan tetap dikenal jika pengurus dan anggotanya berusaha dengan
segenap daya dan kemampuan untuk bekerja membangun organisasi (tentunya tanpa riya’) dengan berlandaskan paradigma,
ideologi dan tujuan umum organisasi. Esensi sebagai ruh organisasi akan terpancar melalui kinerja pengurus dan
anggotanya dalam hal ini adalah hasil karya mereka dan pancaran inilah yang
penulis sebut dengan eksistensi. Esensi organisasi akan memperlihatkan bentuk
organisasi sebagaimana adanya, tanpa keletihan pengurus yang berusaha melakukan
sesuatu yang semoga saja tidak premature.
Esensi
organisasi dapat dimulai dengan memperbaiki administrasi dan legalitas formal
dari organisasi sehingga dalam perjalanannya, organisasi tidak menemui jalan
buntu. Salah satu komponen yang memerlukan pembenahan adalah sistematika
pemberian materi atau follow up.
Follow up sebagai langkah kedua setelah diadakannya
recruitment harus benar-benar terarah
dan terukur sehingga kemampuan kader dalam penulisan dapat dipertanggung
jawabkan dan diandalkan. Follow up
dikatakan tertarah dan terukur ketika kegiatan tersebut dapat memberikan
pengetahuan secara teknis dan kemampuan secara kritis kepada anggota yang
mengikutinya. Untuk dapat mencapai sasaran dari fololow up tersebut maka pengurus yang berada dalam bidang yang
mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan kurikulum harus mampu menciptakan
formula yang mengatur secara umum dan secara detail sehingga pengurus yang
bertugas melakukan pendampingan tidak akan menemui kesulitan dalam pemberian
materi karena tidak adanya suatu regulasi organisasi yang menentukan apa yang
harus dibahas pada pertemuan pertama, kedua dan seterusnya
Eksistensi
(yang penulis analogikan sebagai pancaran cahaya) tidak akan terbentuk manakala
sumber (esensi) dari pancaran tersebut tidak terbentuk dengan baik. Oleh
karenanya, sebelum berpikir untuk memberikan sesuatu (berupa eksistensi) kepada
stakeholder ada baiknya segenap
pengurus dan anggota berusaha membenahi hal-hal yang sifatnya intern, salah satunya adalah pembenahan
kurikulum.
Hal yang perlu
dipikirkan berikutnya adalah modal/dana. Meskipun bukan merupakan elemen pokok
namun basik ekonomi organisasi dibutuhkan untuk mendanai seluruh aktivitas dan
kegiatan organisasi dalam rangkai menjalankan program kerja tahunan baik yang
bertujuan untuk menambah kualitas anggota ataupun sebagai pertanggungjawaban
kepada stakeholder yang menikmati
hasil karya organisasi.
Melihat
pentingnya elemen ini maka penulis memandang sangat perlu untuk menyusun teknis
pengadaannya, dapat melalui iuran bulanan anggota atau dapat pula mengadakan
kerja sama dengan stakeholder atau
instansi lain yang tidak mengikat atau dengan kata lain sifat non-partisan organnisasi yang tidak
berpihak pada golongan tertentu harus tetap dipertahankan mengingat sifat
kritis harus tetap menjiwai organisasi dan para kadernya.
Memang
sangat terlihat rumit dan sulit serta butuh kerja keras melihat semua yang
penulis paparkan namun percaya atau tidak hal itu hanya sedikit dari apa yang
seharusnya kita benahi. Penulis masih memiliki pengetahuan yang terbatas
sehingga hanya sekedar itu yang mampu penulis tawarkan, namu jika segenap
pengurus dan anggota telah bekerja dan mencoba membenahi maka akan sangat
terlihat betapa “hijau” organisasi ini yang masih sangat membutuhkan siraman
perbaikan dan kegelisahan dari pengurus dan anggotanya sebagai motor dan elemen
utama yang dimilikinya.
Karena
sangat terbatasnya tawaran yang penulis berikan maka sangat pasti akan sangat
banyak tawaran yang akan diberikan oleh pengurus dan teman-teman anggota yang
lain.
Masalah
bagi penulis bagaikan gulungan ombak yang akan saling mengikuti dan tak akan
ada henti-hentinya hingga akhir kehidupan. Dan gulungan ombak inilah yang akan
memberikan kita pelajaran dan ujian dalam hidup. Bukan untuk dihindari,
ditakuti tapi untuk dihadapi dan dilalui karena setelahnya “kita setahap akan
menjadi lebih dewasa”.
Akhirul kalam, mari bersama kita berdoa semoga Allah
tetap senantiasa menghantam kita dengan “gelombang” yang semakin kuat. Hingga
diri dan organisasi ini akan semakin dewasa, Karena itulah alasan kita ada
(baca: hidup).
Wallahul
‘Alam Bissawab,
Wallahul
Muafieqh Illa Aqwamieth Tarieqh
Wassalamu
Alaikum Wr. Wb_!
Salam
Sahabat Pena !
Supartomo Syarief
0 komentar:
Posting Komentar