SURAT UNTUK GENERASIKU
(Sebuah Pesan Kepemimpinan)
Kesatuan
Pelajar Mahasiswa Indonesia
Parigi
Moutong Di Gorontalo
02 Februari 2013
Bismillahirrohmanirrohim…
“Ketahuilah
para pembaca sekalian,
bahwa
aku dan Allah sangat mencintaimu !
Semoga
cinta-ku dan cinta-Nya
kamu
teruskan pada generasi berikutnya !”
Bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu !!
Kepada
Allah, Sang Pemegang Kekuasaan Tertinggi di seluruh lini kehidupan, saya
berlindung dari keburukan kepemimpinan dan memohon petunjuk untuk memimpin diri
dan semua yang memberikan kepercayaan pada kepakan sayap dan langkah gontai
pemimpin kecil ini.
Salam
dan sapa yang begitu manis buat saudara-saudari, sahabat-sahabiyah yang menjadi
sumber inspirasi dalam setiap awal dan akhir goresan pena kecil ini, semoga
Allah—Tuhanku dan Tuhanmu senantiasa memberikan perlindungan dan petunjuk yang
menghidupkan gairah memimpin, membangkitkan semangat bertindak dan menguatkan
kepatuhan dalam kepemimpinan yang penuh keharmonisan dan amanah.
Sejak
tahun 2008 ‘rumah’ kita dibangun, dengan
beribu pengorbanan akhirnya sampailah kita di tahun keempat yang artinya telah
empat orang berbeda yang berdiri di puncak kepemimpinan dengan watak dan gaya
kepemimpinan yang berbeda pula. Tulisan kali ini tidak untuk menilai
benar-salah atau baik-buruknya kepemimpinan tiap-tiap zaman, hanya lebih pada
memberikan ‘pesan sederhana buat generasi sesudahku’.
Generasiku
yang begitu saya banggakan, yang semoga mendapat bimbingan dari Tuhan untuk berani
memimpin. Setelah kamu ‘menjadi’ pemimpin di lini dan tingkat mana pun maka
pastikanlah bahwa dirimu telah mengalami progress
dalam segala hal termasuk intelektual, emosional, maupun spiritual1).
Karena bila posisi itu tidak memberimu efek dan stimulus untuk bergerak maju
dan belajar banyak maka itulah salah satu tanda kegagalanmu dalam meningkatkan
semangat pengikutmu untuk maju dan meningkatkan mutu. Secara sadar atau tidak
mereka lebih memperhatikan what do you do
dan jarang sekali bahkan tidak pernah melihat what do you say. Itulah mengapa pemimpin lebih dituntut untuk
MENJADI contoh dibanding MEMBERI contoh.
Para
tunas muda yang kelak akan menggantikan pendahulunya, yang jiwanya lebih mudah
untuk belajar apa yang mereka lihat dari apa yang mereka dengar, pengikutmu
menilaimu lebih pada apa yang kamu lakukan, bukan pada apa yang kamu pikirkan,
maka setelah kamu berpikir untuk melakukan sesuatu yang baik, bersegeralah
untuk melakukannya2). Saat pemimpin menyegerakan tindakan maka
mereka (pengikut/bawahan) telah mendapatkan figure
sebagai panutan dalam melakukan hal yang serupa. Kamu yang selalu bersegera
dalam tindakan akan mendapat dukungan penuh dan akan sangat mudah untuk
memberikan instruksi karena mereka sadar bahwa pemimpin mereka adalah tipe
pekerja keras dan konsisten dengan sifat itu yang tentunya sangat membenci
sifat yang berlawanan yaitu senang menunda-nunda pekerjaan.
Generasiku
yang jiwanya penuh dengan kelembutan dan kasih sayang, taburilah kepemimpinanmu
dengan sifat lembutmu maka akan kamu dapati pengikutmu dengan rasa cinta dan
hormat yang lebih dalam3). Setiap orang memiliki sisi kelembutan,
dan sejatinya kelembutan itu lebih dominan dibanding sisi yang berlawanan. Maka
tidak heran ketika pengikut/bawahan diberi tanggung jawab dengan penuh
perhatian dan kepercayaan maka mereka akan bekerja lebih ringan dan penuh
tanggung jawab. Sebaliknya, ketika tanggung jawab (tugas) diberikan kepada
mereka melalui instruksi yang keras maka dengan penuh kedongkolan tugas itu
dilaksanakan yang tentunya berujung pada kurang maksimalnya cara dan langkah
yang diambil, hal ini bisa dilihat dari hasil yang kurang memuaskan, bisa berupa
prosedur kerja yang tidak lagi diperhatikan, jadwal yang harus ditunda karena
tidak sesuai target, atau bahkan terbengkalainya tugas yang dipercayakan kepada
mereka.
Para
miniatur masa depan organisasi yang berkobar-kobar jiwanya penuh semangat yang
begitu saya cintai, pengikutmu akan bekerja dengan hati dan semua daya yang
mereka miliki apabila hati dan jiwa mereka telah terbakar oleh api semangat
yang tiada henti berkobar4). Semangat bagaikan gulungan ombak yang dari
waktu ke waktu mengalami perubahan, bisa jadi dia bertambah, bisa jadi
sebaliknya hingga dia memecah pada keadaan dan waktu tertentu. Dia pun hampir
seperti api unggun yang selain menghangatkan dirinya juga dapat menghangatkan
orang-orang di sekitarnya. Bila kamu adalah api itu maka berusahalah untuk
konsisten dengan semangat yang tetap berkobar-kobar hingga dapat ‘menulari’
para pengikutmu untuk ikut bersemangat, namun bila api itu adalah pengikutmu
maka di waktu-waktu tertentu mereka perlu bensin untuk menambah atau sekedar
mempertahankan kobaran itu, bensin itu saya beri nama MOTIVASI.
Para
penentu masa depan organisasi yang jiwanya penuh pikiran positif dan loyalitas,
pengikutmu sebenarnya tidak butuh digaji atau diberi upah hanya sekedar
melakukan sesuatu yang sebenarnya untuk mereka juga. Kebanyakan dari mereka
hanya butuh paling tidak dua hal, kesempatan dan penghargaan, maka
berikanlah5). Berikan mereka kesempatan bekerja selebar sayap
imajinasi kreativitasnya. Lihat bagaimana mereka bekerja dengan gigih dan penuh
semangat, meski terkadang mereka terhalang oleh ‘ketidak-mampuan’, tapi bukankah
itu hanya karena mereka belum pernah menemukan hal serupa sebelumnya ? Bukankah
kita juga sedemikian bingung dan cemas dahulu ? Bahkan putus asa terkadang
menjadi jalan ‘gantung diri’ yang begitu ampuh untuk menghindari kesalahan, dan
disinilah peran kita yang katanya ‘senior berpengalaman’ untuk memberikan
sedikit sentuhan. Tapi toh senyum
legah pun terukir dari bibir yang tadinya pucat yang tegang dan ketakutan
setelah semua dilalui dengan terengah-engah namun nyaris sempurna. Setelah kesempatan untuk berekspresi dan belajar
diberikan maka saatnya untuk memberikan applause kepada
mereka yang telah berani berbuat atau sekedar berniat, karena paling tidak mereka
telah berani, ‘lumayanlah untuk pemula’J.
Setiap hal yang mereka lakukan harus dihargai dengan pujian tulus (bukan koprol) dan motivasi yang membakar
sehingga mereka akan terus terpancing dan tertantang untuk berbuat lebih keras,
lebih cerdas, lebih tangkas, dan
sewaktu-waktu lebih ‘nekat’. Jika demikian halnya, maka yang anda tunggu adalah
LOYALITAS yang dalam, “mengakar kuat ke bumi
dan menggapai tinggi ke langit”.
Adik-adikku
yang diri dan jiwanya penuh dengan sisi kemanusiaan, yang artinya kalian selalu
ingin benar namun terkadang salah. Maka saat pengikutmu melakukan kesalahan
yang tidak besar (kata2 rupa dosa besar
deng dosa kecil JJJ; dosa yang tidak
besar masih bisa diampuni toch ?) maka
toleransi perlu berjalan dengan sedapat mungkin menghindari pemberian hukuman
yang tentunya tanpa mengabaikan sisi ketegasan seorang pemimpin6).
Hukuman pada keadaan tertentu dapat memberikasn efek jera namun pada keadaan
yang berbeda dapat menjadikan orang yang menjalaninya kurang motivasi karena
merasa dizalimi yang alih-alih memberikan efek jera malah sebaliknyalah yang
terjadi, maka pemimpin yang bijak harus dapat melihat dan mempertimbangkan
kedua keadaan tersebut. Kalaupun hukuman tak dapat dihindari karena berbagai
pertimbangan maka berilah hukuman yang memberikan ‘efek dua mata pisau’, yang
tidak hanya berfungsi sebagai hukuman dan efek jera namun juga dapat berfungsi
sebagai pembelajaran sehingga yang menjalaninya tidak merasa dihukum tapi
diberi tugas untuk belajar/berlatih lebih. Jika hal ini dapat diciptakan maka
simpati-lah yang akan dirasakan oleh pengikut kepada pemimpinnya, dan
selanjutnya anda hanya cukup menunggu kesetiaan para pengikut anda.
Dan
akhirnya, lanjut atau tidaknya organisasi ini, maju atau tidaknya organisasi
ini tergantung bagaimana kita mengelolanya7). Karena hanya dengan
bertahan untuk terus berdiri tidak akan mampu menjadikan kita tetap hidup
sementara yang lain berusaha untuk berlari secepat mungkin. Sulit memang,
berlari dengan garis finish tidak diketahui dimana letaknya namun itulah
konsekuensi yang harus diterima berlomba dalam kualitas dan mutu kemanusiaan. Izinkan
saya di akhir tulisan ini memberikan sebuah analogi sederhana untuk organisasi
ini. Organisasi ini ibarat tangan dengan jari-jarinya sebagai elemen
organisasi. Bila ibu jari, telunjuk, jari tengah, jari manis, dan kelingking
dapat bekerja sama maka “semua bisa dipegang”, namun bila kelima jari ini punya
ego yang masing-masing kaku, maka “apa yang bisa dipegang”. Artinya, jika pimpinannya,
Dewan Pembina/Penasihatnya, Dewan alumninya, para pengurus bidang dan
devisi-devisinya, dan para anggotanya termasuk srikandi-srikandinya dapat
bekerja dalam bingkai cooperative
yang baik maka saya yakin dan percaya seberat apapun beban dan tantangan
organisasi ini, dia dapat bergerak maju.
Maka
yang paling penting menurut saya adalah bagaimana para elemen ini meng-konstruksi
dan terus me-rekonstruksi sebuah kerja sama yang baik dengan diawali dengan
sikap saling membutuhkan. Pengurus membutuhkan anggota dan begitu sebaliknya,
maka yang terlahir adalah keharmonisan.
Generasiku
yang sekarang muda dan esok kan menua, “patah-tumbuh, hilang-berganti”. Kemarin
kami, setelah kami-kalian, setelah kalian–mereka; maka siapkan mereka8).
Pemimpin sejati tidak hanya bertanggung jawab pada masanya tapi juga pada masa
setelahnya, maka sewajarnyalah pemimpin hari ini harus mempersiapkan pemimpin
masa depan, karena kegagalan masa depan bisa jadi kegagalannya membina
generasinya.
Hanya
kepada Allah kita memohon perlindungan dari kehancuran setelah kejayaan seperti
kebanyakan kaum, dan memohon bimbingan agar kita semua diarahkan menuju kerja
sama yang baik, kekompakan yang hangat, dan persatuan yang tangguh. Kepada
Allah pula saya memohon ampun atas segala kesalahan dari tulisan-tulisan ini
dan tunduk penuh syukur atas ilmu yang diberikan-Nya hingga ada dua-tiga
kalimat yang mungkin benar.
Mari
bersama-sama kita menyegerakan diri untuk terus belajar, bekerja, dan berbuat
secara tegas, cerdas, keras, tangkas, bila perlu sekali-kali kita nekad.
Salam Berpikir dan Bertindak Cerdas_!
Salam Hormat,
Supartomo Syarief
0 komentar:
Posting Komentar