Senin, 08 Februari 2016

18.20 Posted by Unknown No comments
SEBUAH SURAT BUAT PALASARA
(Pecinta Alam Santigi Raya)
[Gorontalo, 14 November 2013]

Bagaimana kabarmu teman ?
Tidak terasa lima tahun sudah kita tak bersua lagi.
Rindu rasanya ingin bercengkerama denganmu
dalam dinginnya malam,
hangatnya mentari,
saat alam manunggal dalam diri dan hati,
atau dalam lelahnya perjalanan dan pendakian,
kurindu benar masa itu.

Lima tahun yang lalu kita mencari kelelahan
dalam perjalanan jauh dan tingginya pendakian,
selain kesenangan dan tantangan jiwa mudah kita dulu,
adakah makna yang lebih dalam kita cari?
Lebih berarti!

Untukmu palasaraku;
Ku jelajahi panjangnya daratan mencarimu;
ku arungi dalamnya lautan untuk sekedar menyapamu;
ku telusuri semak-belukar agar dapat menyentuhmu dengan ujung jemariku,
sekedar untuk menyentuhmu;
ku terawang dinding-dinding langit,
yang gelap,
yang terang,
yang lembab,
yang kering,
yang terik,
yang hujan,
sekedar ingin menatap wajahmu,
sekedar untuk mananyai kabarmu.

Adakah kau sehat selalu ?
Adakah kau masih seindah dahulu ?
yang gelisah akan rusaknya alam-mu ?
yang tak tenang dengan kondisi jiwa generasimu ?
yang semakin hari semakin menjadi-jadi,

masihkan hidupmu demi pengabdian ?
demi tugas dan tanggung jawab dari Tuhannmu;
menjadi khalifah penjaga bumi,
alam kita ini ?

Mungkin kita masih terlalu muda dahulu
belum mengerti yang lebih berarti,
memaknai pencarian pun belum benar kita pahami,
tapi coba kau jawab tanya dalam kebimbanganku kini,
benarkah ?
kita mencari makna dahulu,
menjaga hulu dan melindungi hilir kala itu,
atau sekedar menghabiskan waktu mencari kasenangan semu ?

Aku takut teman!
Karena ketakutan itu,
Ku tanya kabarmu ribuan kali,
pada angin, yang sering menyelimuti malammu;
pada langit, yng setia menaungi perjalananmu;
pada bebintang, yang tak bosan menerangi penjelajahanmu;
pada rerumputan, pada air, yang telah memberimu hidup dan kehidupan;
pada bebatuan, pada pepohonan, yang tak pernah luput menunjukimu jalan dalam gulitanya hutan yang membutakan.

Kutanyai kabarmu pada mereka
namun tak satu pun memberi berita.

Aku takut teman!
Sungguh takut, bila kelak sejarah dan generasi ini akan mendurhakai kita
memaki, dan menyumpahi para pendahulunya,
kita, yang dulu pernah berdiri dengan bangga di atas bumi yang menghijau tapi sekarang tandus dan gersang setelah itu

Mungkin arang telah tercoreng,
tapi sungguh,
kau tetap temanku
bersama dan saling memapah,
kita bisa bangkit dari ketersungkuran ini.

Mungkin nasi sudah menjadi bubur,
tapi santan dan gula bisa memperbaiki
karena dan hanya jika kau dan aku adalah teman,
dan masih teman;
teman se-rimba,
teman se-bumi,
teman satu bakti.

Teman,
dalam pencarianku,
tak juga ku dapati kau,
tapi jika air, bumi, udara, pepohonan, bebatuan, dan bintang-bebintang, serta malam menyampaikan pesanku ini,
maka cobalah kau renungi.

Kita pendaki,
mendaki puncak tertinggi,
itu kita punya mimpi,
tapi taukah kita di mana puncak tertinggi?
Jaya Wijaya-nya Indonesia?
Atau puncak Mount Everest, sang atap-nya dunia ?

Bukan teman!
Sekali-kali bukan!
Puncak tertinggi itu,
perjalanan terjauh itu,
iyalah pendakian spiritual menuju Tuhan,
pendakian hakiki para pendaki sejati,
termasuk kita teman,
termasuk Palasara ini.

Dan ku mohon ingat pesan indah Tuhanku ini:
Dzahara al-fasadu fil bahri wa al-bahri
Bima kasabat aydinnasi.
Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena tangan-tangan manusia.

Salam rimba teman,
salam lestari,
salam satu bumi,
selamat bertemu di puncak tertinggi,
bila mungkin, di samping para Nabi,
Mohon tetap pegang dan jaga mimpi kita dulu hingga raga-diri benar-benar bersatu dengan bumi.

0 komentar:

Posting Komentar