SEBUAH SURAT
BUAT PALASARA
[Gorontalo, 14
November 2013]
Oleh:
Supartomo Syarief
Bagaimana
kabarmu teman ?
Tidak
terasa lima tahun sudah kita tak bersua lagi.
Rindu
rasanya ingin bercengkerama denganmu
dalam
dinginnya malam,
hangatnya
mentari,
saat
alam manunggal dalam diri dan hati,
atau
dalam lelahnya perjalanan dan pendakian,
kurindu
benar masa itu.
Lima
tahun yang lalu kita mencari kelelahan
dalam
perjalanan jauh dan tingginya pendakian,
selain
kesenangan dan tantangan jiwa mudah kita dulu,
adakah
makna yang lebih dalam kita cari?
Lebih
berarti!
Untukmu
palasaraku;
Ku
jelajahi panjangnya daratan mencarimu;
ku
arungi dalamnya lautan untuk sekedar menyapamu;
ku
telusuri semak-belukar agar dapat menyentuhmu dengan ujung jemariku,
sekedar
untuk menyentuhmu;
ku
terawang dinding-dinding langit,
yang
gelap,
yang
terang,
yang
lembab,
yang
kering,
yang
terik,
yang
hujan,
sekedar
ingin menatap wajahmu,
sekedar
untuk mananyai kabarmu.
Adakah
kau sehat selalu ?
Adakah
kau masih seindah dahulu ?
yang
gelisah akan rusaknya alam-mu ?
yang
tak tenang dengan kondisi jiwa generasimu ?
yang
semakin hari semakin menjadi-jadi,
masihkan
hidupmu demi pengabdian ?
demi
tugas dan tanggung jawab dari Tuhannmu;
menjadi
khalifah penjaga bumi,
alam
kita ini ?
Mungkin
kita masih terlalu muda dahulu
belum
mengerti yang lebih berarti,
memaknai
pencarian pun belum benar kita pahami,
tapi
coba kau jawab tanya dalam kebimbanganku kini,
benarkah
?
kita
mencari makna dahulu,
menjaga
hulu dan melindungi hilir kala itu,
atau
sekedar menghabiskan waktu mencari kasenangan semu ?
Aku
takut teman!
Karena
ketakutan itu,
Ku
tanya kabarmu ribuan kali,
pada
angin, yang sering menyelimuti malammu;
pada
langit, yng setia menaungi perjalananmu;
pada
bebintang, yang tak bosan menerangi penjelajahanmu;
pada
rerumputan, pada air, yang telah memberimu hidup dan kehidupan;
pada
bebatuan, pada pepohonan, yang tak pernah luput menunjukimu jalan dalam
gulitanya hutan yang membutakan.
Kutanyai
kabarmu pada mereka
namun
tak satu pun memberi berita.
Aku
takut teman!
Sungguh
takut, bila kelak sejarah dan generasi ini akan mendurhakai kita
memaki,
dan menyumpahi para pendahulunya,
kita,
yang dulu pernah berdiri dengan bangga di atas bumi yang menghijau tapi
sekarang tandus dan gersang setelah itu
Mungkin
arang telah tercoreng,
tapi
sungguh,
kau
tetap temanku
bersama
dan saling memapah,
kita
bisa bangkit dari ketersungkuran ini.
Mungkin
nasi sudah menjadi bubur,
tapi
santan dan gula bisa memperbaiki
karena
dan hanya jika kau dan aku adalah teman,
dan
masih teman;
teman
se-rimba,
teman
se-bumi,
teman
satu bakti.
Teman,
dalam
pencarianku,
tak
juga ku dapati kau,
tapi
jika air, bumi, udara, pepohonan, bebatuan, dan bintang-bebintang, serta malam
menyampaikan pesanku ini,
maka
cobalah kau renungi.
Kita
pendaki,
mendaki
puncak tertinggi,
itu
kita punya mimpi,
tapi
taukah kita di mana puncak tertinggi?
Jaya
Wijaya-nya Indonesia?
Atau
puncak Mount Everest, sang atap-nya
dunia ?
Bukan
teman!
Sekali-kali
bukan!
Puncak
tertinggi itu,
perjalanan
terjauh itu,
iyalah
pendakian spiritual menuju Tuhan,
pendakian
hakiki para pendaki sejati,
termasuk
kita teman,
termasuk
Palasara ini.
Dan
ku mohon ingat pesan indah Tuhanku ini:
Dzahara al-fasadu fil bahri wa
al-bahri
Bima kasabat aydinnasi.
Telah
nampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena tangan-tangan
manusia.
Salam
rimba teman,
salam
lestari,
salam
satu bumi,
selamat
bertemu di puncak tertinggi,
bila
mungkin, di samping para Nabi,
Mohon
tetap pegang dan jaga mimpi kita dulu hingga raga-diri benar-benar bersatu
dengan bumi.
0 komentar:
Posting Komentar