KRISIS KEPERCAYAAN TERHADAP PILAR
DEMOKRASI
(Gorontalo, Selasa 4 Jumadil Akhir 1433/27 Maret
2012)
Bismillahirrohmanirrohim…
“Ketahuilah para pembaca sekalian, bahwa aku dan Allah
sangat mencintaimu !
Semoga cinta-ku dan cinta-Nya kau teruskan pada generasi
berikutnya !”
Bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu !!
Krisis
kepercayaan di kalangan masyarakat, utamanya rakyat kecil semakin meluas ke
golongan yang sebenarnya terpercaya yaitu mahasiswa dan media public baik cetak
maupun elektronik. Tentunya hal ini bukan merupakan sebuah kabar baik karena hal
ini tentu akan mengundang pesimistis di kalangan masyarakat kelas bawah yang
pada akhirnya akan mengundang kesemrawutan
di tatanan masyarakat.
Mahasiswa
dan media merupakan dua pilar[1] terakhir dalam tatanan suatu
negara khususnya negara kita Indonesia. Dua pilar ini sebelumnya masih murni, berada
pada kedudukan sebagai oposan[2], berada di luar golongan partisan,
dan jauh dari intervensi golongan tertentu termasuk partai politik dan penguasa.
Dengan kemandirian dan apartisan inilah yang membuat dua pilar ini menjadi
lebih dipercaya dibanding pilar lainnya (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) yang
lebih dulu telah hilang kepercayaan dari rakyat meskipun telah melakukan
pencitraaan yang intensif dewasa ini.
Dengan
semakin pesatnya persaingan politik yang terjadi di negara kita tidak heran
jika masing-masing partai atau golongan semakin menebar pengaruh dan intervensi
mereka pada hal-hal yang dapat dikonsumsi public secara langsung, tidak terkecuali
dengan media pers, baik elektronik maupun cetak, baik dengan tujuan
menggencarkan dogma maupun propaganda dalam upaya pencitraan kepada public atau
bahkan upaya menjatuhkan lawan/saingan.
Sehingga
sangat tidak jarang kita menyaksikan dan mengkonsumsi beberapa produk media
yang menjadi alat untuk melakukan upaya-upaya yang telah dijelaskan sebelumnya.
Melalui konsumsi itu pula maka masyarakat berasumsi bahwa independensi yang
dimiliki oleh media kini tidak terjamin lagi. Hal ini tentu terlihat bila kita
membandingkan beberapa media dengan pembahasan yang sama maka tidak jarang
terdapat kontra-produktif di antara media tersebut dalam membahas dan mengulas suatu
isu. Media A menilai positif golongan C tapi di sisi lain media B malah
memperlihatkan penilaian yang negative terhadap golongan atau figur yang sama.
Jika
hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan sudut pandang dan responden, maka
hal itu tidaklah terlalu menakutkan. Namun yang menjadi masalah jika hal
tersebut terjadi karena adanya lobi-lobi antara pihak media dengan “pihak
sponsor” yang berada di belakang media.
Yang
sangat disayangkan adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kaum intelektual
bermoral dan agent of social control yang
awalnya dipercaya dapat mendampingi dan membela kepentingan rakyat bila mana
kebijakan penguasa di luar kemampuan “konstituennya” (rakyat), namun sedikit
demi sedikit juga ikut mengidap “penyakit” yang tidak pernah diduga, yaitu
aktifnya mereka dalam politik praktis yang menyebabkan mereka lupa akan posisi
mereka yang murni dan oposan dan seharusnya tidak boleh diombang-ambingkan oleh
kepentingan/urusan perpolitikan.
Meski
sebenarnya tidak semua dari golongan mahasiswa terinfeksi virus ini, namun
beberapa gerakan dari sekelumit golongan sangat dapat menjadikan citra
mahasiswa secara umum menjadi rusak di mata masyarakat. Hal tersebut
dikarenakan beberapa golongan tadi telah melakukan gerakan yang tidak lagi
sesuai koridor dan kode etik pergerakan (nilai dasar pergerakan) yang
seharusnya menjadi pegangaan setiap mahasiswa dalam melakukan tindakan yang
mengatas-namakan rakyat kecil.
Selain
terjunnya mahasiswa dalam politik praktis yang mengakibatkan frekuensi frontalitasnya
menjadi menurun, hal yang juga memberi penilaian negatif terhadap mahasiswa
adalah seringnya mahasiswa tidak menggunakan indikator pembeda antara mahasiswa
dengan golongan lainnya, yaitu intelektual, moral, dan idealis. Begitu banyak
dari golongan yang dipercaya ini melakukan “gerakan-gerakan tambahan” yang
bertentangan dengan moralitas dan intelektualitas tadi.
Jika
hal ini berlanjut maka yang ditakutkan adalah masyarakat akan sampai pada titik
ekstrem kecemasan, yaitu terjadinya krisis kepercayaan hingga berujung pada
pesimistis dan depresi yang berlebihan karena merasa tidak memiliki pegangan
dan figur pembela.
Semoga
virus ini akan kembali disembuhkan oleh Tuhan, karena meski tanpa mahasiswa dan
medianya, rakyat masih mempercayai-Nya.
Salam
!
0 komentar:
Posting Komentar