Sabtu, 06 Februari 2016

KETIKA IDEALISME TERJUAL TANPA HARGA

08.46 Posted by Unknown No comments
KETIKA IDEALISME TERJUAL TANPA HARGA
Bismillahirrohmanirrohim…
“Ketahuilah para pembaca sekalian, bahwa aku dan Allah sangat mencintaimu !
Semoga cinta-ku dan cinta-Nya kau teruskan pada generasi berikutnya !”


Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu !!
“…tidakkah kau sadari bahwa tanpa menjualnya pun idealismemu akan terjual begitu murah, bahkan tanpa harga ?
Dan hal inilah yang akan terbukti, sebagian memusnahkan keseluruhan…”

Begitu banyak dari kaum muda khususnya mahasiswa yang menyatakan diri sebagai insan beridealis dan begitu gigih melawan kebijakan penguasa (pemerintah, read) dan mengatasnamakan dirinya sebagai komunitas pembela kaum yang termarjinalkan. Hal itu tidak dapat kita salahkan karena memang (sebagian) nawaitu mereka adalah dengan tujuan itu. Namun terkadang yang menjadi masalah adalah (sebagaian dari) mereka seakan menjadikan niatan suci itu sebagai moment memperlihatkan eksistensi mereka secara riyah yang tentunya telah menyimpang dari nilai-nilai dasar perjuangan sebagai realisasi niatan suci.
Bukan tanpa sebab fenomena ini kerap kita temukan di berbagai komunitas aktivis mahasiswa sebagai actor yang jika kita lihat perjalanan bangsa ini tidak akan lepas dari campur tangan mereka, meski sebenarnya tidak semua dari mereka ber-riyah dengan kebanggan atas pujian-pujian dari simpatisan mereka.
Hal ini (ke-riyah-an) bisa saja dilatarbelakangi oleh politik masa depan yang mereka (sekali lagi hanya actor/oknum tertentu) gencarkan sehingga mereka seakan menjadi ancaman bagi pemerintahan tertentu atau bahkan akan menjadi penilaian khusus bagi para calon pemimpin di zamannya sehingga saat “pensiun” dari teriakan dan idealisme-nya akan dengan muda ia mendapatkan posisi yang sebagian orang begitu sulit diraih.
Penyelewengan terhadap nilai-nilai dasar pergerakan tentu saja membuahkan dampak yang cukup negative terhadap penilaian masyarkat kepada aktivis mahasiswa secara umum. Yang ditakutkan apabila penilaian tersebut mencapai titik klimaks yakni saat masyarakat mengalami krisis kepercayaan tidak hanya kepada pemerintah sebagai regulator dan penentu kebijakan tapi juga kepada kaum murni/mahasiswa sebagai agent of social control dalam kehidupan bermasyarakat.
Jika masyarakat telah  masuk dalam keadaan ini maka pesimistis dan keputus-asaan juga akan melanda masyarakat yang akan menimbulkan sifat apatis terhadap keadaan karena dua actor yang mereka andalkan telah menyimpang dan mereka akan berlari sendiri ibarat anak ayam yang ditinggalkan induknya dan kehilangan komunitas yang seharusnya menjadi figure kebanggan dalam menentukan arah dan tujuan kahidupan.
Bukan masalah siapa yang melakukan hal itu, tapi lebih pada masalah mengapa hal itu terjadi. Karena dalam nilai dasar perjuangan pun telah terdefinisi dengan jelas nawaitu perjuangan ini, tidak lain karena alasan realisasi (pengabdian) terhadap hubungan dengan Sang Pencipta, implementasi (pembelaan/keberpihakan) terhadap hubungan dengan masyarakt dan keserasian (kepedulian) atas hubungan dengan alam sebagai objek eksploitasi manusia yang terkadang tanpa pertimbangan.
Alasan pertama (Hablum Minallah) secara jelas mengisyaratkan bahwa manusia harus mampu memperlihatkan efek dari kesempurnaan atas kejadian (Ahsanittaqwim) sehingga manusia harus mampu memanfaatkan totalitas kesemprnaan tersebut baik kesempurnaan bentuk, pikiran, kesadaran moral.
Alasan kedua (Hablum Minannas) ini adalah turunan dari alasan pertama bahwa manusia memiliki kesadaran moral sehingga selain mampu berpikir dan membedakan antara yang haq dengan yang bathil maka secara moral dan moril manusia memiliki kepedulian dan tnggung jawab terhadap sesamanya.
Alasan ketiga (Hablum minal ’Alam) adalah manifestasi dari dua alasan sebelumnya. Selain itu manusia secara kodrati telah diberikan amanah untuk menjadi khalifah fil ardi yang tentu saja dengan amanah berat itu manusia harus mampu bertindak secara agresif terhadap persoalan-persoalan yang tidak sesuai dengan petunjuk-Nya.
Tiga hal inilah yang menjadi ruh dari perjuangan-perjuangan mahasiswa pada umumnya yang meski tidak jarang yang menggunakannya untuk sekedar menggadaikan kekuatan besar ”idealisme” sebagai konsumsi pribadi.
 Yang bersalah tetaplah salah, dan mengutuk pun tak akan menjadikan mereka benar, pun tak akan menjadikan kita mulia karena kesalahan telah terjadi di masa lampau. Namun jalan dan pintu perbaikan tetap memilik stock yang berlimpah. Hanya dengan saling mengingatkan dan berdoa akan sedikit mampu menghapus dosa-dosa riyah itu (dan mungkin juga ”ini”).
Wallahul ’Alam Bisshawab_

Wallahul Muafieq Illa Aqwamieth Tharieq !

0 komentar:

Posting Komentar